Perang Dagang AS
时间:2025-06-05 13:46:07 出处:热点阅读(143)
Eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok tidak hanya mengguncang arus perdagangan internasional, tetapi juga mengubah secara fundamental cara negara-negara menyusun kebijakan ekonomi.
Chief Economist PT Trimegah Sekuritas, Fahrul Fulvian, dalam sesi pemaparan Macroeconomic and Bond Market Outlook, menyebut dunia kini memasuki fase baru yang ia istilahkan sebagai A Brave New World. Dalam fase ini, multilateralisme melemah dan kebijakan ekonomi global tidak lagi berbasis aturan bersama (rule-based), melainkan berlandaskan diskresi dan negosiasi.
“Dulu, ada pakem yang bisa kita pegang dalam membuat keputusan. Sekarang semuanya bergeser, kebijakan global makin dipengaruhi oleh agenda politik dan kompromi bilateral,” ujar Fahrul, dikutip Rabu (4/6/2025).
Baca Juga: Update Perang Dagang: Beijing Ungkap Sejumlah Dusta Trump ke China
Ketegangan perdagangan yang terus meningkat antara dua raksasa ekonomi dunia itu telah menciptakan ketidakpastian tinggi dalam sektor perdagangan global. Kondisi ini berdampak langsung terhadap dunia usaha, terutama pelaku ekspor-impor.
Fahrul menjelaskan bahwa kontrak-kontrak dagang jangka panjang semakin sulit direalisasikan karena risiko kebijakan yang tak menentu. “Sekarang, pelaku usaha lebih memilih kontrak 3–6 bulan, bahkan banyak yang bertransaksi tunai. Ini menunjukkan perubahan drastis dalam persepsi risiko,” jelasnya.
Ketidakpastian tersebut turut meningkatkan kebutuhan pembiayaan jangka pendek. Permintaan terhadap modal kerja (working capital) melonjak karena pelaku usaha perlu menjaga likuiditas tinggi dan menghindari risiko piutang jangka panjang.
Baca Juga: Update Perang Dagang: AS Isyaratkan Negosiasi Trump dan Xi Jinping
Menurut Fahrul, yang lebih mengkhawatirkan dari sekadar perang tarif adalah munculnya gejala bahwa dominasi dolar AS sebagai jangkar global mulai melemah, atau yang ia sebut sebagai "dollar exceptionalism is over". Negara-negara surplus seperti Tiongkok dan Jepang mulai mengurangi minat terhadap surat utang pemerintah AS, mengganggu stabilitas ekosistem keuangan global yang selama ini menopang kekuatan dolar.
“Relasi 40 tahun antara yieldobligasi AS dan kekuatan dolar terputus sejak April lalu. Ini bukan hanya gangguan teknikal, ini pergeseran sistemik,” tegasnya.
Di tengah perubahan arah ekonomi global, muncul pertanyaan strategis: bagaimana Indonesia harus merespons? Fahrul menekankan perlunya regulator dan pelaku pasar memahami konteks global dan membangun strategi pendanaan yang lebih mandiri serta adaptif.
“Pasar obligasi lokal harus jadi alternatif strategis. Di tengah gejolak global, kekuatan pembiayaan dalam negeri akan menjadi tameng utama kita,” pungkasnya.
上一篇: 15 Daftar Instansi yang Buka Formasi CPNS 2024 untuk Lulusan SMA
下一篇: Singapura Rilis Program Biometrik, Masuk Bandara Changi Tanpa Paspor
猜你喜欢
- Kiprah 10 Tahun Kementerian PUPR: Percepatan Infrastruktur Tingkatkan Kualitas Hidup Warga
- Biaya UKT Naik di Sejumlah PTN, DPR Curigai Pemotongan Subdidi dari Pemerintah
- Keyakinan Anies Baswedan Soal Formula E Nggak Main
- Rupiah Diprediksi Menguat ke Rp16.500 per Dolar AS di Akhir 2025, Ini Faktornya
- 556.000 Mobil Ford Ditarik Kembali, Ternyata Ini Alasannya
- Wakil Ketua Gerindra: Konsep Oposisi Tak Dikenal dalam Konstitusi Indonesia
- Gaikindo sebut Libur Panjang Lebaran Jadi Faktor Penjualan Mobil Listrik Turun di Bulan April
- Guntur Romli Sebut Formula E jadi Panggung Anies, Masica ICMI DKI Jakarta Beri Sindiran Menohok
- KPK Laporkan Temuan Pungli Rp18,25 Miliar di Raja Ampat, Korbannya Wisatawan